Senin, 14 Oktober 2024

Seni Kentrung

Komunitas Ginyo Lamongan bersama Makmur Djaja Jakarta dan Jejaring Produser Indonesia melakukan riset seni kentrung di enam kabupaten, yakni Jepara, Pati, Tuban, Lamongan, Sumenep dan Bondowoso. Riset ini dilakukan pada 25 sampai 30 Agustus 2024.

Ketua Komunitas Ginyo Lamongan Luqman Hakim menjelaskan, perjalanan riset dimulai dari Kabupaten Jepara Jawa tengah. Jepara tidak asing dengan Kentrung Ken Palman yang proses perjalanannya sangat panjang.

Ken Palman berdiri atas inisiatif Sarjono. Di Jepara juga terdapat maestro kentrung, yakni Mbah Parmo. Di usia 79 tahun Mbah Parmo Bersama cucunya Bernama Arif tetap konsisten dengan Seni Kentrung Jepara.

Sedangkan di Pati Jawa Tengah ada Djaswadi atau Mbah Jas. Pria ini seniman multitalenta, mulai dari pemain kendang, melukis, pemain ketoprak, aktor teater, pembuat wayang, penulis sastra jawa, hingga kentrung. Mbah Jas berharap kesenian di Pati tidak musnah tergerus zaman.

Lalu, Kentrung Bate Tuban dengan 5 anggota. Mereka adalah Mbah Djalil, Mbah Wiji, Mbah Wiya, Mbah Kijo dan Sigit. Para pelaku kesenian ini berharap kentrung selalu ada tengah-tengah masyarakat Tuban.

“Menggunakan empat alat musik tradisional dan sesekali ada penambahan alat seperti kenong gamelan dan Gong, serta satu penutur. Kentrung Bate selalu menceritakan kerajaan dan asal-usul desa, serta perjalanan Walisongo,” ujar Tohex, panggilan akrab Lukman Hakim.

Bagaimana dengan Lamongan sendiri? Tohex mengungkapkan, di Lamongan terdapat seni kentrung Sunan Drajat. Kentrung ini mula-mula karena sosok alm. H. Khusairi. Dia membawakan kentrung Sunan Drajat di wilayah peloso-pelosok Lamongan dan Gresik dengan gaya khasnya.

“Saat ini, Kentrung Sunan Drajat diteruskan putra Mbah Khusairi yang bernama Achmad Yazid. Masih eksis sampai sekarang,” lanjutnya. Tohex kemudian mengungkapkan seni kentrung di Pulau Madura, tepatnya Kabupaten Sumenep. Di Kawasan ini ada kesenian Rukun Family. Pemilik Rukun Family sekarang adalah H. Mas’udi. Kesenian tersebut pada saat itu masih berjenis ketoprak atau lebih mendekati ke kentrung (Wantuanan).

“Saat itu masih bernama Rukun Sentoso, kemudian sekitar tahun 1945 berubah menjadi Rukun Family yang berarati (Rukun Sekeluarga),” kata Tohex.

Sedangkan Bondowoso, menurut Tohex, ada seniman Bernama Junaedi. Dia adalah pegiat seni yang sudah puluhan tahun melestarikan kesenian kentrung. Komunitas Ginyo berkunjung sanggar GAS (Group Apresiasi Seni) Bondowoso .

Dari situ diketahui bahwa seni kentrung di Bondowoso sudah ada sejak 1940-an. Ada tiga nama yang memelopori adanya kentrung di Bondowoso, yakni Nur Hadi, Nur Kacung, dan Nur Bakri atau disebut Trio Nur.

Tohex menandaskan hwa seni kentrung adalah gabungan antara seni musik, seni peran, sastra lisan, dan lawak. Pada umumnya kentrung dimainkan oleh tiga orang. Kadang juga empat orang. Ketiganya memegang alat musik yang sama, yakni rebana yang kendur, tidak kencang seperti hadrah.

Tiga orang itu terdiri atas pengatur cerita, atau istilah Madura-nya disebut pak-pakan. Dia bertugas mengatur serangan dan menyelesaikan masalah dalam cerita. Kedua sang biang kerok, yang memancing masalah. Ketiga namanya pesakitan, peran yang selalu kalah.

“Seni tradisional kentrung merupakan kekayaan Indonesia hal tersebut seharusnya dapat menjadi perhatian khusus dari semua pegiat kebudayaan terutama pemerintah daerah terkait seni tradisional kentrung agar tetap lestari,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar