Senin, 20 Mei 2013

AAI: Tidak Memangkas Peran Polisi dan Jaksa

SURABAYA - Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) menjawab usulan Kejaksaan yang meminta agar peran polisi dan jaksa tidak dipangkas. AAI berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak akan memangkas peran polisi atau jaksa. Hanya saja, RUU KUHAP itu diajukan semata-mata agar tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Dewan Kehormatan DPP AAI Jawa Timur, Tjandra Sridjaja Pradjonggo mengatakan, seorang yang ditetapkan tersangka juga memiliki hak dalam hukum. “Jangan sampai aparat hukum memangkas hal itu para tersangka,” ujarnya saat dikonfirmasi, Minggu (19/5).

Ia mencontohkan, dalam penerapan hukum saat ini, banyak tersangka yang telah dirugikan jika dengan suatu penahanan. “Bayangkan, saat penyelidikan sampai kasusnya di pengadilan seseorang tersangka dilakukan penahanan. Setalah itu ternyata hakim memutuskan tersangka tidak bersalah dan dibebaskan. Jika melihat seperti itu, berarti seseorang itu dirugikan,” paparnya.

Menurutnya, AAI dalam ini sama sekali tidak berupaya untuk memangkas kewenangan polisi atau jaksa. Pihaknya hanya ingin adanya kesetaraan antara advokat, polisi, dan jaksa. “Selama ini advokat tidak bisa berbuat banyak saat kliennya tak mendapat haknya saat ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan,” tambahnya.

Dalam RUU KUHAP ini, lanjut Tjandra, pihaknya juga mendukung upaya jaksa yang berani menuntut bebas terdakwa bila memang terdakwa tidak terbukti bersalah. “Sebaliknya sebagai advokat juga seperti itu. Bila kliennya bersalah, maka juga jangan ngotot minta kliennya dibebaskan,” tegasnya.

Ia menjelaskan, saat ini banyak yang salah dalam menafsirkan tugas advokat. Baginya, tugas seorang advokat adalah membela kliennya yang hak-haknya tidak diberikan oleh penegak hukum. “Jika tahu kliennya salah, maka advokat juga harus berani bersikap jujur dan tidak meminta agar kliennya dibebaskan,” katanya.

RUU KUHAP ini sampai saat ini masih bisa belum terealisasikan, “Maka itu kami mendorong agar RUU ini supaya disahkan karena sudah saatnya para advokat berdiri tegak setara dengan penegak hukum lainnya,” beber Tjandra.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, Marwan Effendi meminta agar kewenangan jaksa dan polisi tidak dipangkas dalam RUU KUHAP. Menurutnya, hal itu akan merubah total sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasalnya, hukum Indonesia akan mengadopsi secara total sistem hukum Eropa Kontinental yang berlaku di Eropa Barat seperti Prancis dan Belanda. Terlebih lagi tanpa menghitung kondisi factual, cultural dan implementasinya sangat berbeda dengan Indonesia.

Menurutnya, jika itu dipaksakan maka akan terjadi perubahan sistem yang sangat mendasar. Dalam RUU KUHAP dirancang kelembagaan, praperadilan akan diganti oleh Hakim Komisaris. Selain itu di RUU KUHAP juga mencantumkan kewenangan polisi dan jaksa yang diambil alih oleh Hakim Komisaris.

Marwan mengatakan, hal tersebut dinilai tidak mencerminkan azas peradilan yang cepat, murah dan sederhana. Oleh karenanya dia mengusulkan pada perubahan RUU KUHAP yang diketuai agar tetap memberikan kewenangan pada polisi dan jaksa untuk menangkap, menahan dan menyita barang bukti.

“Saya sudah usulkan, kewenangan jaksa sebaiknya disederhanakan saja. Jangan semua harus lapor ke hakim pemeriksa pendahuluan, nantinya bisa akan bertambah ribet dan tidak mencerminkan azaz peradilan yang cepat, murah dan sederhana,” ucapnya.

Bentuk penyederhanaan kewenangan polisi dan jaksa kewenangan menahan, menyita BB maupun menangkap tersangka tetap diberikan pada polisi dan jaksa, namun apabila ada yang keberatan hal tersebut maka bisa mengajukan keberatan ke hakim pemeriksa pendahuluan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar